Perilaku Orang Beragama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang Dipercayainya & 9 Ayat Al Quran yang Jadi Dalil Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi
Seringkali terdengar kekecewaan masyarakat terhadap perilaku orang beragama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang dipeluknya. Tidak sulit ditemukan, orang yang sudah sedemikian lama dan aktif menjalankan agama, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang dikenal oleh masyarakat. Mereka masih berbohong, tidak jujur, kurang sabar, dan bahkan juga masih melakukan kegiatan koruptif dan seterusnya. Masyarakat mengendaki agar perilaku orang beragama berbeda dari orang yang tidak mengenal agama.
Tuntutan masyarakat seperti itu sebenarnya tepat, sekalipun yang bersangkutan sendiri sebenarnya juga belum tentu telah berhasil mengimplementasikan nilai-nilai yang selama itu diikuti dan dijunjung tinggi. Sebab pada hakekatnya setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari pasti memiliki standar atau pedoman, baik standar itu bersumber dari agama atau mungkin juga dari yang lain. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang mampu menjalankan nilai-nilai yang dianggap ideal sebagai pilihannya sendiri.
Sebenarnya kehendak menjalankan agama secara utuh dan sempurna sudah tumbuh dari masing-masing orang yang bergama. Rasanya tidak ada orang yang tidak menginginkan kebaikan dan kesempurnaan. Akan tetapi kesempurnaan itu selalu saja tidak mudah dijalankan. Sebagai seorang Islam pasti menginginkan agar mampu meniru perilaku yang ditunjukkan oleh Muhammad, saw., sebagai pembawa ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa perilaku Utusan Allah itu adalah ideal dan sangat terpuji. Akan tetapi tatkala akan menjalankannya sendiri ternyata dirasakan banyak hal yang menghambat, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun yang datang dari luar.
Membangun perilaku ideal, ternyata bukan perkara mudah. Tidak semua orang yang berpendidikan tinggi, telah sempurna gelar akademiknya, dan juga panjang dan banyak pengalamannya, berhasil membangun perilaku agama secara ideal. Buktinya, banyak orang berpendidikan tinggi, bergelar akademik puncak, dan bahkan telah menduduki jabatan terhormat, tetapi yang bersangkutan sekedar secara istiqomah bangun pagi dan kemudian mendatangi suara adzan sebagai panggilan shalat berjama'ah di masjid yang tidak jauh dari rumahnya ternyata belum sepenuhnya mampu.
Demikian pula, Islam mengajarkan agar menjauhi sifat buruk, seperti ujub, riya', takabbur, dendam, mengadu domba, bermusuhan, fitnah, dan seterusnya, akan tetapi tidak semua orang yang telah menyatakan diri sebagai seorang beragama mampu mengikuti ajaran yang mulia itu. Mereka mengtahui bahwa memfitnah itu dilarang, sombong itu tidak dibolehkan, mengadu domba itu sangat membahayakan, hasut itu berbahaya bagi orang lain dan bahkan juga terhadap dirinya sendiri, dan seterusnya, tetapi hal demikian itu tidak bisa dihindari. Pengetahuan tentang perilaku buruk ternyata tidak mampu mencegah yang bersangkutan menghindarinya. Hal demikian itu sebenarnya sama saja, bahwa orang yang melakukan korupsi adalah sangat tahu bahwa perbuatan itu buruk, jelek, melawan hukum agama dan juga pemerintah, tetapi toh oleh sementara orang tetap dijalankan. Mereka melakukan kejahatan itu bukan karena tidak mengerti bahwa perbuatan itu dilarang dan harus dihindari, melainkan oleh karena yang bersangkutan tidak mampu mencegah dirinya sendiri menjauh dari perbuatan tercela itu.
Mendasarkan pada kenyataan itu, maka pertanyaan yang seharusnya dijawab secara bersama-sama adalah siapa sebenarnya yang mampu memperbaiki perilaku seseorang itu. Apakah para pemimpinnya, para atasannya, orang-orang berpengaruh, atau siapa lagi. Dirinya sendiri saja ternyata gagal memperbaiki perilakunya. Sudah mengetahui bahwa sesuatu perbuatan adalah buruk, jelek, nista, dan membahayakan, namun ternyata masih tetap dijalankannya. Seringkali ada orang menyebut-nyebut bahwa di beberapa negara barat, masyarakatnya sudah berhasil menghindarkan diri dari perbuatan kurup, dan sejenisnya. Mungkin saja berita itu benar, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perilaku jahat lainnya sudah berhasil ditinggalkan, misalnya memerangi, mengadu domba, dan memporak-porandakan negara lain yang lemah untuk diambil kekayaannya. Korupsi sudah tidak dilakukan tetapi masih melakukan kejahatan yang tidak kurang dahsyatnya.
Perilaku buruk ternyata tidak bisa diatasi oleh manusia sendiri. Itulah sebabnya, Tuhan mendatangkan rasul ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Siapa saja yang mengikuti Allah dan Rasulnya adalah orang yang beruntung, selamat, dan bahagia. Mengikuti Allah dan Rasul adalah dilakukan dengan cara menjadikan al Qur'an dan hadits Nabi sebagai acuan hidupnya. Bagi umat Islam, tidak terkecuali di Indonesia, seharusnya membuat gerakan memahami kembali dua peninggalan Rasul itu secara saksama. Persoalannya adalah lagi-lagi, mereka belum tentu bersemangat atau bergairah melakukan itu.
Maka, umpama saja para pemimpin di berbagai tingkatannya, melakukan gerakan mendekatkan diri pada kitab suci dan mencontoh kehidupan manusia ideal, yaitu Muhammad, saw., adalah merupakan cara yang paling tepat. Akan sangat mulia manakala di berbagai komunitas, yakni di tengah masyarakat, di lembaga pendidikan, di kampus-kampus, kantor-kantor hingga di berbagai tempat kerja yang memungkinkan, disisihkan waktu untuk mengkaji al Qur'an dan hadits secara istiqomah dan kemudian mengimplementasikannya.
Dengan cara itu, insya Allah, masyarakat beragama akan merasakan indahnya nilai-nilai agama yang dipeluknya / diyaininya.
9 Ayat Al Quran yang Jadi Dalil Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi
Allah SWT melarang umat manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Dalil larangan ini termaktub dalam Al-Qur'an surah Al A'raf ayat 56.
Allah SWT berfirman,
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan, melalui ayat tersebut, Allah SWT melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan hal-hal yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki.
Menurut penafsiran Imam Ibnu Katsir, perbuatan yang merusak bumi akan membahayakan semua hamba Allah SWT. Hal inilah yang membuat Allah SWT melarang perbuatan tersebut.
Kemudian, lanjut Ibnu Katsir, Allah SWT juga memerintahkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah SWT dan berdoa kepada-Nya serta berendah diri dan memohon belas kasihan-Nya. Sebagaimana Dia berfirman,
Sementara itu, menurut Tafsir Tahlili Kementerian Agama RI, larangan berbuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti merusak pergaulan, jasmani dan rohani orang lain, kehidupan dan sumber-sumber penghidupan (pertanian, perdatangan, dan lain-lain), termasuk merusak lingkungan.
"Bumi ini sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, seperti gunung, lembah, sungai, lautan, daratan, hutan dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan mereka," jelas tafsir tersebut.
Selain surah Al A'raf ayat 56 tersebut, dalil yang berkaitan tentang larangan berbuat kerusakan di muka bumi juga disebutkan dalam firman-Nya yang lain. Berikut di antaranya.
Dalil tentang Berbuat Kerusakan di Muka Bumi
1. Surah Al Baqarah Ayat 11
2. Surah Al Baqarah Ayat 12
3. Surah Al A'raf Ayat 56
4. Surah Al Baqarah Ayat 30
5. Surah Al Baqarah Ayat 60
6. Surah Al A'raf Ayat 74
7. Surah Al Qasas Ayat 77
8. Surah Ar Rum Ayat 41
Baca juga:Kisah Bangsa-bangsa yang Dibinasakan Allah secara Massal
9. Surah Yunus Ayat 41
Disebutkan dalam Syarah Kitab Tauhid atau Al-Qaulul-Mufid 'ala Kitabit-Tauhid-II karya Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, dalam surah Al Baqarah ayat 11 mengandung dalil yang menunjukkan bahwa berbuat kerusakan di muka bumi merupakan kemunafikan.
Kanti Suci Project