TRADISI BUKA LUWUR SUNAN KUDUS DI KOTA KUDUS BENTUK KEBUDAYAAN UPACARA KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT JAWA DI KOTA KUDUS
PENDAHULUAN
Islam dan budaya adalah dua entitas yang berbeda. Namun keduanya dapat saling mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akan tetapi aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis. Dalam konteks budaya, Indonesia mengalami apa yang dinamakan dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer. Islam dan budaya keraton terdapat tarik menarik dalam interaksinya. Misalnya, dalam hubungannya dengan konsep tentang kekuasaan, terdapat perbedaan besar antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan konsep raja absolut, Islam justru menekankan konsep mengenai raja yang adil. Begitu juga dalam sejarah disebutkan pula bahwa Demak ternyata lebih memilih syariat untuk menjaga kewibawaan keraton dan pengaruh sufisme yang melecehkan kekuasaan kerajaan. Dari sini dapat dipahami bahwa penerimaan yang dilakukan oleh keraton Jawa terhadap pengaruh Islam cenderung bersifat defensif, yaitu menerima pengaruh-pengaruh tertentu dari Islam selama pengaruh-pengaruh tersebut dapat diadopsi untuk status quo kekuasaan Jawa.
Sedangkan dalam budaya populer, ketika berhadapan dengan Islam terkadang juga berwarna mitos, seperti cerita mengenai Walisongo (sembila wali). Tetapi dalam perkembangan berikutnya kebudayaan populer banyak sekali menyerap konsep-konsepa dan simbol-simbol Islam sehingga sering kali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang terpenting. Pengaruh Islam juga sangat terasa dalam upacara-upacara sosial budaya populer. Misalnya di Sumatra ada upacara Tabut untuk memperingati maulud nabi (kelahiran nabi), begitu juga di Jawa dengan Sekaten, kemudian ada Grebeg di Demak dan Buka Luwur di Kudus.
Buka Luwur merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat. Masyarakat Kudus mempunyai banyak sekali upacara tradisional yang khas. Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan Buka Luwur. Buka Luwur di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka Luwur di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka Luwur di Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus. Namun, supaya tidak terlalu luas dalam pembahasan paper ini hanya akan dibahas mengenai tradisi Buka Luwur. Hal ini, disebabkan karena dalam tradisi Buka Luwur mempunyai perbedaan dengan tradisi yang lain khususnya di Kudus. Diantaranya adalah terdapat rentetan acara yang panjang dan mempunyai fungsi nyata dalam kehidupan sosial. Di samping itu juga terdapat simbol-simbol yang masih erat hubungannya dengan nilai-nilai tradisi setempat yang berlaku. Ada prosesi penyucian pusaka yang diyakini milik Sunan Kudus yang diangap akan mendatangkan berkah.
Fenomena keagamaan seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang ghaib. Di samping itu juga terdapat ziarah dan penggantian kain penutup makam Sunan Kudus, yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah ceremony yang menarik. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana upacara Buka Luwur di Kudus yang dikenal dengan kota kretek karena memang terdapat industri rokok. Dalam penulisan paper ini akan dibahas mengenai bagaimana Buka Luwur dapat menjadi media nilai-nilai Islam dan budaya bagi masyarakat, dan bagaimana fungsi dan faktor-faktor sosial Buka Luwur dapat ditafsirkan.
PEMBAHASAN
Deskripsi Tradisi Upacara Buka Luwur Makam Sunan Kudus
Buka Luwur adalah upacara tradisi yang terdapat di kota Kudus berupa prosesi penggantian luwur atau kain mori yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup Makam Sunan Kudus.
Syeikh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus adalah imam kelima (terakhir) di Masjid Kerajaan Demak. Sunan Kudus juga tercatat sebagai senopati atau panglima perang saat Kerajaan Demak berperang melawan Majapahit pada tahun 1527 Masehi. Sunan Kudus memutuskan meninggalkan Kerajaan Demak menuju Tajug pada tahun 1543 setelah menyelesaikan tugas sebagai seorang senopati. Langkah tersebut sengaja dilakukan Sunan Kudus dengan tujuan utamamembaktikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ceritarakyat yang berkembang juga menyebutkan bahwa ada perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus, sehingga Sunan Kudus memilih untuk meninggalkan Kerajaan Demak. Pada tanggal 19 Rajab 956 Hijriyah, Syeikh Ja’far Shodiq mendirikan Kudus sebagai kota yang kental dengan nuansa Islam. Kudus merupakan satusatunya nama kota di Jawa yang menggunakan bahasa Arab. Kudus berasal dari bahasa Arab “Al Quds” yang berarti “suci”. Pendirian Masjid al-Alqsha beserta menaranya juga semakin meneguhkan kesan Islami Kota Kudus. Pendirian masjid tersebut dipahat pada batu persegi ukuran 40×23 cm, yang tertulis dalam huruf dan bahasa Arab. Batu prasasti tersebut saat ini berada di atas mihrab (pengimaman) Masjid Al-Alqsha Kudus. Karena batu tersebut sudah begitu lama, maka tulisannya kurang jelas.
Untuk mengenang perjuangan dan teladan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam, masyarakat Kudus menggelar tradisi Buka Luwur yang puncaknya diselenggarakan setiap tanggal 10 Muharram. Para alim ulama di Kudus bersepakat menamai tradisi tersebut dengan nama Buka Luwur. Nama haul tidak digunakan karena dikhawatirkan akan muncul salah pemahaman dimasyarakat bahwa Sunan Kudus wafat pada tanggal 10 Muharram. Sementara hingga saat ini belum ditemukan sumber sejarah yang menerangkan kapan persisnya Sunan Kudus wafat.
Buka Luwur adalah upacara penggantian luwur atau kain mori yang digunakan membungkus nisan, cungkup, dan bangunan di sekitar makam Sunan Kudus. Penyelenggaraan Buka Luwur merupakan serangkaian kegiatan dengan berbagai ritus yaitu Penjamasan Keris Sunan Kudus, Pengajian Malam 1 Muharram, Pelepasan Luwur, Munadharah Masail Diniyyah, Doa Rasul dan Terbang Papat, Pembuatan dan Pembagian Bubur Asyuro, Khatmil Quran bil Ghoib, Santunan Anak Yatim, Pengajian Malam 10 Muharram, Pembagian Berkat, dan Upacara Pemasangan Luwur Baru.
Prosesi UpacaraBuka Luwur Makam Sunan Kudus
Penjamasan Pusaka
Rangkaian prosesi Buka Luwur sudah dimulai dengan acara penjamasan pusaka Sunan Kudus yang berupa keris yang bernama Cinthaka atau Ciptaka. Penjamasan keris luk sembilan dengan hiasan emas yang menempel padagandhik tersebut dilakukan pada bulan Dzulhijjah. Penjamasan pusaka ini dilakukan setelah hari raya Idul Adha pada (14 Dzulhijjah). Penjamasan dimulai sekitar pukul 07.30 dan lama pencucian pusaka sekitar 2 jam. Setiap pencucian pusaka, cuaca pasti timbreng, Cuaca timbreng adalah di mana cuaca tidak panas dan tidak hujan, matahari juga tertutup oleh awan mendung. Sebelum melakukan penjamasan, terlebih dahulu ziarah ke makam Sunan Kudus. Seusai ziarah, dengan diiringi bacaan sholawat “allahumma sholli ‘ala muhammad, ya robbisholli ‘alaihi wasallim” juru kunci makam mengambil dan menurunkan Keris Kiai Cinthaka yang disimpan di bagian atas Pendopo Tajug. Sholawat tersebut mempunyai arti “Semoga Allah senantiasa mencurahkan sholawat atas Muhammad, semoga Allah senantiasa mencurahkan selamat dan salam atasnya”. Penjamasan dimulai dengan membasuh wilah keris dengan menggunakan banyu landa, yaitu air rendaman merang ketan hitam. Selanjutnya, wilah keris direndam dalam air jeruk nipis, serta menggosoknya dengan beberapa butir jeruk nipis. Setelah dirasa bersih, wilah keris dikeringkan dengan cara dijemur di atas brambut atau sekam ketan hitam.
Untuk menjaga bentuk pamor agar tetap terlihat dan terawat, wilah keris dibasuh dengan warangan, yaitu cairan kimia khusus yang telah dipersiapkan. Setelah itu keris dipijat perlahan untuk memastikan warangan telah benar-benar merasuk. Penjamasan diakhiri dengan membasuh lagi wilah keris mengggunakan banyu landa. Kemudian kembali dikeringkan menggunakan sekam ketan hitam. Setelah dikeringkan keris dilap menggunakan kain mori putih. Wilah keris yang telah dijamas diolesi minyak khusus yang tidak mengandung alkohol. Pegangan atau ukiran keris dipasangkan pada wilahnya dan kembali dimasukkan dalam warangka. Keris lalu dibungkus dengan kain dan dimasukkan ke dalam peti. Setelah itu juru kunci mengembalikan peti berisi keris ke tempat semula diiringi bacaan sholawat “allahumma sholli ‘ala muhammad, ya robbisholli ‘alaihi wasallim”. Selain keris, dua trisula yang biasa terpasang di sisi mihrab atau pengimaman Majid Al-Aqsha juga ikut dijamas dengan cara yang sama. Setelah rangkaian acara selesai, hadirin disuguhi jajan pasar dan hidangan opor panggang. Opor panggang adalah makanan opor, dengan kuah sedikit, dan daging ayam yang dipanggang. Konon opor panggang tersebut adalah menu kesukaan Sunan Kudus. Biasanya air bekas mencuci keris tersebut atau dalam bahasa jawa disebut kolo diperebutkan masyarakat yang memiliki keris di rumah. Masyarakat percaya bahawa kolo tersebut bila dipakai untuk mencuci keris lagi, maka akan ada berkah dari Sunan Kudus.
Pengajian Malam 1 Muharram
Setiap memasuki tahun baru Islam (bulan Muharam/Suro) sudah menjadi tradisi bagi kaum muslim untuk melakukan doa yang disebut awal dan akhir tahun. Doa tesebut dilakukan untuk merefleksi kadar keimanan dan dosa-dosa yang pernah dilakukan selama satu tahun yang lalu dapat lebur sehingga lembaran tahun baru nantinya akan lebih baik. Pada malam 1 Muharram yang merupakan awal tahun baru Islam telah dimulai rangkaian tradisi upacara BLMSK dengan diadakannya pengajian umum. Pengajian umum ini dihadiri oleh masyarakat umum yang datang dari berbagai daerah di Kudus dan sekitarnya. Pengajian umum ini diselenggarakan di serambi Masjid Al-Alqsha Menara Kudus. Pengajian tersebut dimulai pukul 20.00, berlangsung kurang lebih selama dua jam.
Macam-macam hitungan yang digunakan untuk menghitung datangnya tahun baru Hijriyah. Hitungan asapon (Ahad Selasa Pon), hitungan aboge (Ahad Rebo Wage) dan hitungan tahun Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo yang dimulai pada 8 Juli 1663 (ajumgi) atau yang disebut TahunWindon. Suro merupakan nama bulan pertama dalam kalender Jawa. Kalender Jawa (kalender Saka) merupakan kalender Jawa Hindu yang berdasarkan pada peredaran matahari (syamsiyah). Namun sejak 1043 H/1633 M (1555 tahun Saka) Sultan Agung Hanyokro Kusumo menggabungkan kalender Jawa Hindu dengan kalender Islam (qomariyah/peredaran bulan). Penggabungan kalender yaitu mengubah pedoman peredaran kalender Jawa Hindu (peredaran matahari/syamsiyah) dengan pedoman pergantian tahun berdasarkan peredaran bulan (kalender Islam), untuk selanjutnya menjadi kalender Jawa Islam. Nama Suro dalam kalender Jawa sama dengan Muharam dalam kalender Hijriyah.
Pengajian malam 1 Muharram ini merupakan simbol kebebasan yang diperoleh umat Islam dari masa Jahiliyah. Bulan Muharam atau Suro adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Bulan Muharam adalah salah satu dari empat (4) bulan yang dimuliakan Allah. Kata “muharam” itu sendiri mempunyai makna “dilarang”. Artinya pada bulan tersebut dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengkataan lainnya. Bulan Muharram merupakan bulan yang penting karena banyak peristiwa masa lampau pada zaman nabi yang dapat dipetik hikmahnya.
Pelepasan Luwur Pesarean
Pagi hari pada tanggal 1 Suro diadakan upacara pelepasan Luwur Makam Sunan Kudus yang dimulai sekitar pukul 06.00. sebelum Luwur dibuka, terlebih dahulu dibacakan tahlil dan doa di makam Sunan Kudus. Pembacaan tahlil dan pelepasan luwur dipimpin oleh Kyai Sepuh, pembukaan secara simbolis dilakukan di dalam makam Sunan Kudus oleh para Kyai Sepuh. Luwur yang telah dilepas kemudian dibawa ke Pendopo Tajug untuk dirapikan. Kain-kainluwur tadi dilipat dan disimpan. Pelepasan luwur dilakukan pada tanggal 1 Muharram seusai acara pelepasan luwur Buka Luwur yaitu tanggal 1 Muharram, sebagian kain dengan ukuran kecil (10-20 cm) akan dibagikan bersama berkat keranjang, sedangkan kain dengan ukuran 3-5 meter akan dibagikan kepada kyai-kyai, warga sekitar yang telah membantu, serta penyumbang sesuai saran Kyai Sepuh. Maksud dari pembagian luwur adalah untuk tabarakan/ngalab barokah(mendapat berkah) karena selama 24 jam tanpa henti berdatangan peziarah makam Sunan Kudus yang membaca Al-Quran serta doa-doa. Kepercayaan yang ada bahwa insyaallah kain mori tersebut akan menjadi perantara dalam memperoleh berkah atau rejeki.
Buka Luwur bukan hanya sekedar membuka dan melepas saja luwur yang lama, tapi juga menggantinya dengan luwur yang baru. Setelah luwur dilepas, panitia dan masyarakat yang ikhlas membantu bersama-sama membuat luwur baru sebagai pengganti luwur lama. Dalam membuat luwur ada pedoman khusus yang sudah baku, pedoman ini dibuat oleh para pendahulu. Dalam pedoman itu, terdapat petunjuk mengenai bentuk luwur, jumlah luwur yang dibutuhkan dan ukuran untuk tiap bentuk luwur. Pelaksana pembuatan luwur adalah para wargasekitar yang tergabung dalam seksi luwur panitia Buka Luwur. Jumlah kain yang dibutuhkan untuk luwur sekitar 1.551 meter kain mori dan 77 meter kain korden atau kelambu. Kain korden tersebut digunakan untuk membuat penutup makam di bagian luar sepanjang 38 meter, dalam 18 meter, dan hiasan tepi 21 meter.
Semua kain luwur yang digunakan adalah hasil sumbangan masyarakat. Luwur–luwur yang digunakan untuk menutupi makam Sunan Kudus dibuat dalam beberapa bentuk, yaitu unthuk banyu, melati, kompol, wiru dan langitan. Unthuk banyu adalah salah satu bentuk luwur yang berfungsi sebagai ornamen untuk memperindah rangkaian luwur yang terpasang di makam Sunan Kudus. Sesuai namanya, unthuk berbentuk seperti buih air yang dirangkai dan akan ditempatkan di pinggir-pinggir secara mengeliling di bagian atas dalam dan luar makam. Melati adalah bentuk luwur yang menyerupai unthuk banyu, namun dalam ukuran yang kecil seperti ukuran bunga melati. Panjang bentuk luwurmelati ini sekitar 25-30 meter. Bentuk luwur melati ini nantinnya sebagai hiasan pada ranjam atau luwur utama yang akan dipasang saat puncak acara BLMSK. Bentuk ornamen luwur lainnya adalah kompol. Fungsinya sebagai hiasan untuk memperindah penataan luwur. Kompol akan ditempatkan menggantung pada tiang-tiang yang ada di makam Sunan kudus, termasuk di sudut-sudutnya. Wiruadalah luwur yang dibuat dengan cara melipat kain mori secara horizontal membentuk wiron, dengan pola yang teratur. Berbeda dengan unthuk banyu dan kompol. Pemasangan wiru diletakkan pada sebuah batang kayu dan kuningan. Setelah kain selesai dilipat membentuk wiru, kain kemudian diletakkan di atas batang kayu. Pada bagian kayu yang terdapat pengait, kain dipotong untuk memberi lubang. Setelah itu kayu dan kain wiru diangkat dan digantung pada tempat sementara yang telah dipersiapakan. Langkah terakhir adalah menjahit bagian atas wiru agar tidak lepas dari kayu. Bentuk luwur langitan berfungsi sebagai atap (seperti kernit) bangunan kompleks makam Sunan Kudus. Pemotongan kain disesuaikan dengan bangunan yang akan dipasangi langitan.Bentuk luwur langitan menghabiskan kain mori sekitar 8 gulungan, tiap gulungan berukuran 45 meter.
Munadharah Masa’il Diniyyah
Salah satu makna penting BLMSK adalah untuk mengenang jasa dan teladan beliau dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam. Oleh karena itu, diselenggarakan berbagai rangkaian kegiatan yang memiliki hubungan dengan tujuan dakwah Islam. Salah satunya adalah Munadharah Masa’il Diniyyah,forum berkumpulnya para alim atau orang yang memiliki pengetahuan ilmu fiqih untuk membahas masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya. Acara tersebut bertujuan untuk belajar bersama tanpa membedakan tingkat usia dan ilmu yang dimiliki.
Acara ini menjadi wadah bagi orang yang pandai dalam ilmu agama untuk memberi arahan atau petunjuk bagi siapa saja yang belum mengerti dan memahami persoalan ilmu agama. Munadharah Masa’il Diniyyah dilaksanakan pada 2 Muharram, bertempat di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Forum ini selain dihadiri para alim yang mengerti dalam ilmu agama, juga dihadiri kyai, dan warga sekitar. Munadharah dimulai sekitar pukul 08.30 sampai menjelang Dhuhur. Materi yang dibahas dalam forum tersebut adalah kumpulan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat yang sudah didata panitia sebelumnya. Satu per satu pertanyaan dibahas dan kepada peserta diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat beserta dalilnya. Tidak jarang dalam pembahasan terjadi perdepatan seru karena keragaman pendapat dan dasar yang dipergunakan. Munadharah dikahiri dengan membacakan kesimpulan jawaban serta hukum dari maisng-masing pertanyaan yang dibahas. Jawaban tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan dasar yang disampaikan para peserta dalam forum.
Doa Rosul dan Terbang Papat
Terbang papat adalah salah satu kesenian khas Kudus yang hingga kini masih dimainkan masyarakat. Terbang papat menggunakan komposisi empat terbang atau rebana dan satu jidur. Empat rebana tersebut terdiri kemplong, telon, salahan, dan lajer. Posisi tempat duduk penabuh Terbang Papat menggunakan pola baku. Penabuh kemplong duduk di deretan paling kanan dari arah penonton, kemudian telon, salahan, dan yang paling kiri adalah penabuh terbang lajer. Rebana yang digunakan biasanya berdiameter antara 38-42 cm. Dari keempat tebang tersebut, terbang kemplong dan telon memainkan peran penting sebagai pengendali irama.
Sedangkan salahan dan lajer lebih berfungsi sebagai pemanis nada atau variasi suara. Lirik lagu yang dilantunkan dengan iringan Tebang Papat berasal dari kitab Majmu’ah Maulud Syarofil Anam sebanyak lima belas lagu. Jika semua lagu dinyanyikan secara utuh, setidaknya membutuhkan wakti tiga jam. Ciri khas Terbang Papat adalah pada lagu atau irama melantunkannya, serta alat yang minimalis, murni rebana tanpa ada penambahan alat music modern. Keunikan lainnya adalah selain menabuh terbang, para pemain terbang juga harus bisa melantunkan lagu sekaligus. Terbang papat dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram, pukul 20.00 bertempat serambi Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Terbang Papat sangat dinanti masyarakat, terbukti secara bergantian dalam berbagai kelompok terbang mereka melantunkan bait demi bait albarjanzi. Pada waktu yang bersamaan, tokoh masyarakat menggelar Doa Rasul yang bertempat di rumah Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK).
Khatmil Quran bil Ghoib
Tanggal 9 Muharram pukul 04:30, di dalam masjid diadakan khataman Al-Quran bil Ghoib yang dilakukan oleh para khafidz (hafal Al-Quran di luar kepala). Khataman Al-Quran ini akan dilaksanakan sebanyak 9 kali khataman. Sebelum khataman dimulai, terbelih dahulu diadakan pembukaan serta tausiah dari seorang kyai. Khataman Al-Quran dilaksanakan dalam rangka memeriahkan upacara BLMSK yang sudah dilakukan berkali-kali dan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dalam acara Buka Luwur. Khataman yang dilakukan tersebut pahalanya dihadiahkan khusus kepada Kanjeng Sunan Kudus, dan bagi yang mengikutinya diharapkan mendapat barokah/tabarukan dari khataman yang dilakukan.
Santunan Kepada Anak Yatim
Pada tanggal 9 Muharram sekitar pukul 08.00 diadakan santunan kepada anak yatim yang dilaksanakan di gedung YM3SK. Panitia menentukan kriteria anak yatim yang diberi santunan, untuk putra maksimal berumur sebelas tahun dan putri maksimal berumur sepuluh tahun. Panitia melakukan pendataan untuk mendapatkan calon penerima santunan, bukan melalui mekanisme pendaftaran. Nama yang telah didata kemudian diseleksi. Nama yang memenuhi kriteria akan dikirimi undangan penerimaan santunan oleh panitia.
Acara santunan didahului dengan tausiyah tentang anjuran umat Islam untuk senantiasa memperhatikan anak yatim. Bulan Suro adalah bulannya anak yatim sehingga pada bulan ini umat Islam dianjurkan untuk menyayangi anak-anak yatim dengan cara mengelus-ngelus sebagian rambut kepala dan memberikan sedikit santunan sesuai kemampuan kita. Pahala yang diberikan Allah jika kita menyayangi anak yatim pada bulan Suro adalah sebanyak jumlah rambut yang dimiliki anak yatim yang disayangi tersebut.Selain itu anak-anak juga diajak bersama-sama mendoakan orang tuanya yang telah tiada. Setelah berdoa, satu per satu anak-anak dipanggil untuk menerima santunan berupa uang, tas sekolah, dan lain-lain. Santunan anak yatim tersebut berasal dari shodaqoh masyarakat.
Pembagian Bubur Asyuro
Bubur Asyuro konon merupakan bancaan atau sedekah Nabi Nuh AS ketika selamat dari banjir bandang pada tanggal 10 Muharram. Bubur Asyuro dibuat dari delapan bahan yaitu beras, jagung, kedelai, ketela, kacang tolo, pisang, kacang hijau, dan kacang tanah. Delapan bahan tersebut konon sesuai dengan bubur Asyuro Nabi Nuh AS yang juga terbuat dari bahan yang sama. Selain bahan-bahan tersebut, bubur Asyuro juga ditaburi dengan beberapa pelengkap yaitu tempe, tahu, teri, udang, telur yang telah digoreng sebelumnya, kecambah, jeruk bali, cabe merah, dan penthul. Penthul adalah snack goreng berbentuk bulat yang terbuat dari kelapa muda, daging, gandum, dicampur dengan gula merah dan ditambah daun jeruk.
Bumbu yang dipakai adalah bumbu gule, bawang merah, bawang putih, garam, kayu manis, serai, dan kelapa. Pembuatan bubur Asyuro dilakukan dengan merebus beras, disusul kemudian bahan bubur yang lain. Selama direbus, bubur diaduk terus menerus selama kurang lebih tiga jam. Bubur yang dimasak sebanyak enam kawah atau wajan besar dalam dua angkatan, satu angkatan memasak bubur tiga kawah. Cara penyajiannya khas, yakni ditempatkan pada wadah yang tebuat dari daun pisang yang dipotong berbentuk bulat, disebuttakir. Bubur asyuro ini akan akn dibagikan kepada penduduk sekitar, dan tokoh masyarakat di beberapa desa sekitar Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Bubur Asyuro juga dibagikan sebagai menu bancaan bagi ibu-ibu yang menghadiri acara Al-Barjanzi pada malam 10 Muharram sehabis sholat isya’.
Pembacaan Qasidah Al-Barzanji
Pembacaan Qasidah al-Barzanji dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram yaitu pada hari kamis pukul 19.30 WIB. Diadakannya acara ini adalah sebuah bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dengan melantunkan shalawat-shalawat dan sebagai penambah penyemarak kegiatan acara buka luwur.
Pengajian Umum Malam 10 Muharram
Tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang dihadiri oleh masyarakat dari berbagai daerah di Kudus dan sekitarnya. Suasana pengajian selalu ramai dan penuh sesak hingga orang-orang rela duduk hanya beralaskan koran atau plastik karena tidak mendapat tempat duduk. Pengajian 10 Muharram atau yang yang lebih dikenal dengan pengajian 10 Syuro sebenarnya baru dimulai sekitar pukul 21.00. akan tetapi dengan penuh antusias masyarakat lebih memilih untuk bersiap sejak menjelang maghrib. Anak-anak hingga orang yang sudah tua dating berbondong-bondong memenuhi kompleks masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Dalam kesempatan tersebut, warga yang memilki lahan dekat Menara Kudus memanfaatkan dengan membuka tempat parkir dadakan. Mereka memaksimalkan lahan sekecil apapun untuk dijadikan tempat parkir dengan tarif parkir antara Rp. 3000,- sampai Rp. 5000,- per motor.
Pembagian Berkat Salinan dan Kartu
Pembagian berkat salinan dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram sekitar pukul 01.30 sampai 03.30. Pembagian berkat salinan dilaksanakan di kantor YM3SK. Pembagian berkat salinan ini awalnya hanya imbalan dari panitia kepada warga sekitar menara yang telah membantu dengan menyumbang nasi dalam pelaksanaan rangkaian upacara BLMSK. Namun dalam perkembangannya banyak warga yang datang dari luar kota juga meniru hal ini dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Keluarlah kebijakan baru untuk membagi berkat salinan kepada siapa saja yang telah menyumbang nasi dan imbalannya berupa berkat salinan. Ada yang unik dari pembagian berkat salinan ini, dari pengamatan yang peneliti lakukan bahwa dalam pembagian berkat salinan ini dimanfaatkan bagi sebagian orang untuk mengais rejeki. Mereka yang mendapat berkat salinan menjual kepada peziarah atau orang lain yang tidak mendapat berkat salinan dengan menjualnya dengan harga Rp. 5.000 sampai Rp. 25.000. Alasan peziarah atau orang lain yang ingin mendapatkan berkat salinan adalah karena mereka tidak membawa bekal dari rumah. Ada juga sebagian dari mereka percaya bahwa di dalam berkat salinan tersebut terdapat barokah dari Sunan Kudus.
Sedangkan berkat kartu dibagikan kepada masyarakat yang menyumbang dalam bentuk apapun yang diterima secara resmi oleh panitia. Berkat ini merupakan ucapan terima kasih dari panitia kepada masyarakat. Penyumbang yang memberi sumbangan kecil akan diberi bungkusan/keranjang kecil, bagi penyumbang besar (misal seekor kambing/kerbau) berkat akan diantar panitia langsung ke rumahnya. Dalam perkembangannya berkat kartu juga diberikan kepada orang-orang yang ikut membantu serta mensukseskan upacara BLMSK, seperti tukang masak, tukang bolang-cincang, anak-anak yatim, dan sebagainya. Pembagian berkat dilaksanakan di Jl. Sunan Kudus no. 188 pada pukul 05.00-08.30.
Pembagian Berkat Umum
Di luar Pendopo Tajug suasana ramai sekali oleh masyarakat sekitar yang antre untuk mendapat nasi bungkus. Antusias masyarakat meningkat dari tahun ke tahun dan dapat dilihat dari jumlah nasi bungkus yang disediakan Memang banyaknya jumlah nasi bungkus yang disediakan panitia tidak bisa menjadi acuan yang pasti dalam mengukur tingkat perhatian masyarakat terhadap upacara BLMSK. Peziarah tidak hanya berasal dari daerah Kudus saja, sebagian juga berasal dari luar daerah Kudus, misal Jepara, Pati, Demak, dan Semarang. Sejak tahun 2008, peziarah yang antre dibagi menjadi dua jalur.
Di bagian selatan jalur antrean untuk perempuan, di jalur utara tersedia jalur antrean bagi laki-laki. Mereka rela berdesak-desakan, sabar dan rela mengantre panjang hanya untuk mendapatkan nasi bungkus. Tahun-tahun sebelumnya jalur laki-laki dan perempuan disatukan menjadi 1 (satu) jalur. Peziarah yang mendapat nasi bungkus umumnya langsung dimakan. Ada kepercayaan yang melekat pada masyarakat (peziarah) bahwa nasi bungkus (sego jangkrik) yang mereka dapat itu mengandung barokah dari Sunan Kudus. Sebagian peziarah yang langsung memakan nasi bungkus tersebut percaya setelah memakannya akan memberi kesehatan yang lebih.
Upacara Pemasangan Luwur
Puncak Upacara BLMSK = TRADISI BUKA LUWUR SUNAN KUDUS DI KOTA KUDUS BENTUK KEBUDAYAAN UPACARA KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT JAWA DI KOTA KUDUS adalah upacara pemasangan luwur baru yang dilaksankaan pada tanggal 10 Muharram sekitar pukul 07.00 WIB. Acara prosesi puncak Buka Luwur di halaman Pendopo Tajug dihadiri para kyai dan tokoh ulama kota Kudus. Tidak lepas juga figur penting kota Kudus dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, para pemangku makam wali se-Jawa, serta para tamu undangan lainnya. Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan surat Al- Fatihah, kemudian pembacaan ayat suci Al-Quran, dilanjutkan pembacaan hasbunallah wani’mal wakiil, ni’mal maulaa wani’mannasyir 70 kali dan diakhiri Doa Asyuro. Ketiga acara tersebut dilaksanakan di Pendopo Tajug. hasbunallah wani’mal wakiil adalah potongan ayat Q.S. Ali Imron ayat 173 yang berarti “cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik penolong”. ni’mal maulaa wani’mannasyiradalah potongan ayat Q.S. Al-Anfal ayat 40 yang berarti “Dia (Allah) adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.
Luwur yang dipasang adalah luwur utama yang bentuknya menyerupai ranjam.Dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di Pendopo Tajug. Luwur kemudian dibawa ke makam Sunan Kudus. Panitia yang bertugas membantu dengan hati-hati membawa dan memasang luwur sesempurna mungkin. Setelah sampai di makam Sunan Kudus, dilakukan pembacaan tahlil dan doa. Prosesi pemasangan luwur diiringi dengan bacaan sholawat dengan khidmat dari para hadirin. Luwur yang dipasang adalah luwur yang menutupi makam Sunan Kudus di bagian dalam. Setelah luwur terpasang, dilakukan pembacaan tahlil dan doa di makam Sunan Kudus yang dipimpin oleh Kyai Sepuh. Seusai upacara pemasangan luwur yang baru, para hadirin dibagikan berkat luwur dalam keranjang berisi nasi dan daging dengan olahan uyah asemserta potongan kain luwur lama makam Sunan Kudus.
Refleksi dan Pemaknaan Ritual Buka Luwur Makna Sakral (Emil Durkhem). Sesuatu yang sakral lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Makhluk-makluk dan wujud-wujud sakral yang gahib antara lain misalnya, dewa-dewa, roh-roh, malaikat-malaikat, setan-setan dan hantu-hantu yang disembah karena menakjubkan atau suci jadi sakral itu dapat diaratikan sebagai sesuatu yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Artinya yang sakral itu tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk memnuhi kebutuhan praktias.
Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran terhadap yang sakral dipagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu. Beda-benda sakral tidak boleh disentuh, dimakan akan didekati, kecuali pada saat tertentu oleh orang-orang khusus yang diberi otoritas. Sebagai contoh penggantaian Luwur (kain putih penutup makam), apabila tidak diganti akan terjadi suatu yang tidka diinginkan bersama, misalnya waktu buka luwur tidak diganti pernah terjadi kebakaran di makam Sunan Kudus. Maka untuk menghindari hal-hal tersebut maka harus diadakan penggantian Luwur.
Religius Magis (Max Weber)
Magis adalah suatu fenomena yang sangat dikenal dan umumnya dipahami, namun nampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis dapat dikatakan bahwa magis adalah kepercayaan dan praktik untuk memperoleh kekuatan alam dan antar mereka sendiri dalam memanupulasi daya-daya yang lebi. Meskipun perbedaan magis dan agama harus diterima, kita dapaat menetukan suatu pemisahan antara keduanya karena memang ada kasus terjadinya peristiwa dimana magis merupakan isi dari fenomena religius. Unsur magis merupakan isi dari fenomena religius. Unsur magis tidak semata-mata manipulatif, unsur religiuspun tidak semata-mata lepas dari manupulatif.
Mengenai magis dan agama, P. Worsley mengatakan : “Para ahli antropologi mempunyai alasan yang benar ketika menolak perbedaan lama antara “magik” dan “agama” dimana magik dianggap sebagai kontrol melalui supranatural, sedangkan agama adalah do,aim kekuatan di luar manusia di luar pencapaian manusia. Perbedaan ini dengan mudah dapat dihilangkan : tindak magik perlu mengimplikasikan teori tertentu mengenai Tuhan, roh-roh yang jauh – yang biasanya antropormofik : kehidupan dalam alam atau fase keberadaan yang lain”.
Secara sosiologis magis maupun agama dapat dikatakan mempunyai dua tujuan, yaitu instrumental dan ekspresif. Dengan instrumen dimaksudkan bahwa orang menggunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Dengan ekspresif dimaksudkan bahwa mereka menggunakannya untuk menyatakan dan menyeimbangkan hubungan-hubungan sosial dan kosmologis tertentu. Kepercayaan dan praktek magis mempunyai arti, terutama karena berrungsi sebagai sarana utama namun peran ekspresifnya kecil, sebaliknya makna religius hampir seluruhnya bersifat ekspresif dan simbolis.
Berdasarkan uraian tersebut, religius magis nampak dengan jelas pada nasi dan daging yang dibagikan pada saat pemasangan Luwur yaitu tanggal 10 Muharra pada waktu pagi. Dan wajar kalau masyarakat mempunyai keinginan yang kuat untuk mendapatkan nasi terasebut meskipun hanya sedikit, karena untuk mendapatkan berkah. Kemudian adanya ziarah dengan membaca tahlil yang dilakukan oleh khusus para kiyai, merupakan perwujudan dari religius magis.
Nilai Normal (Karl Marx)
Peringatan Buka Luwur yang dilaksanakan dalam rangka memperingati wafatnya sunan Kudus mempunyai nilai yang cukup tinggia nilai-nilai dari perjuangan para wali khususnya Sunan Kudus menjadi teladan dalam hidup bermasyarakat. Secara hostoris, dalam menyebarkan agama Islam para Walisongo menggunakan berbagai macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Akhirnya agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa.
Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi. Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh sunan Kudus. Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan masyarakat, dengan bentuk masjidnya yang menyerupai kulkul di Bali yang mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.
Di samping itu, pesan-pesan yang terkandung dalam upacara Buka Luwur dan Ziarah di makam Sunan Kudus, yaitu supaya orang-orang dapat mengikuti keteladanan sunan kudus, juga meningkatkan agar orang-orang membiasakan diri untuk bersedekah.
McDonalisasi (George Ritzer)
Dalam The McDonaldization of Society banyak bicara mengenai bagaimana sistem kerja McDonald merasuk pada pola hidup masyarakat. Efisiensi, ketepatan daya hitung, daya prediksi dan kontrol pekerja adalah prinsip-prinsip dasar dalam manajemen ilmiah McDonald yang oleh Ritzer disebut sebagai McDonaldization atau McDonalidisasi. Walau begitu, McDonald sesungguhnya hanyalah ikon puncak dari proses rasionalisasi yang berlangsung sepanjang perjalanan abad ke 20. Lebih jauh, praktik McDonaldisasi membuat perubahan paradigma masyarakat tentang modernitas. Keinstanan, kecepatan dan ketepatan adalah nilai-nilai yang dianggap sebagai bentuk ideal manusia modern.
Seperti halnya pada pembagian berkat salinan, awalnya ini hanya imbalan dari panitia kepada warga sekitar menara yang telah membantu dengan menyumbang nasi dalam pelaksanaan rangkaian upacara BLMSK dan panitia penyelenggara akan menggantinya dengan berkat atau nasi jangkrik. Namun dalam perkembangannya banyak warga yang datang dari luar kota juga meniru hal ini dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Keluarlah kebijakan baru untuk membagi berkat salinan kepada siapa saja yang telah menyumbang nasi dan imbalannya berupa berkat salinan. Ada yang unik dari pembagian berkat salinan ini, dari pengamatan yang peneliti lakukan bahwa dalam pembagian berkat salinan ini dimanfaatkan bagi sebagian orang untuk mengais rejeki. Mereka yang mendapat berkat salinan menjual kepada peziarah atau orang lain yang tidak mendapat berkat salinan dengan menjualnya dengan harga Rp. 5.000 sampai Rp. 25.000.
Tanggapan Masyarakat Kudus mengenai Buka Luwur
Beberapa pihak menganggap, ritual budaya Buka Luwur ini terlihat tidak memiliki fungsi yang cukup penting karena hanya merupakan suatu prosesi penggatian kain mori pada makam. Akan tetapi, budaya ini dapat terus bertahan dan lestari karena ada beberapa fungsi lain yang diperoleh masyarakat pelakunya, seperti halnya yang diungkapkan oleh Malinowski. Inti dari teori fungsional menurut Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Kaplan 2002:76).
Kaplan (2002:77) menyebutkan bahwa asumsi dari teori fungsional adalah bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Sebuah tradisi atau kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat lestari jika tradisi tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu sehingga mampu bertahan. Seperti halnya dalam tradisi Buka Luwur meskipun terlihat sebagai suatu tradisi yang nyata-nyata tidak memiliki fungsi karena hanya merupakan prosesi penggantian kain mori pada makam, dan adanya anggapan-anggapan tertentu bahwa tradisi tersebut dapat mengarah kepada hal-hal yang justru bertentangan dengan norma-norma agama, diluar semua itu, tradisi Buka Luwur memiliki fungsi, motifasi, dan nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh masyarakat pelakunya.
Satu fungsi mendasar dari sebuah ritual keagamaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Radcliffe-Brown dalam Kaplan (2002:77) bahwa keberadaan dan keberlakuan sebuah upacara keagamaan dalam suatu masyarakat adalah kaitannya dengan sumbangan upacara keagamaan tersebut bagi kerekatan sosial. Suatu ritual keagamaan berfungsi untuk memantapkan solidaritas sosial. Solidaritas ini dipertahankan untuk memungkinkan warga masyarakat memainkan peranannya yang telah disepakati bersama, yakni memelihara kadar kebersamaan yang menjadi landasan bagi berlangsungnya sistem sosial. Adanya ritual Buka Luwursudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan bagi masyarakat Kauman ini menjadi sebuah kewajiban untuk ditunaikan. Hal ini yang mendorong seluruh warga untuk terlibat dalam ritual Buka Luwur. Yang sering terjadi di masyarakat adalah adanya ketidaknyamanan ketika tidak berpartisipasi dalam ritual Buka Luwur ini. Sehingga demi menjaga ketertiban di masyarakat, warga pun turut dalam ritual ini. Perasaan tidak nyaman ketika tidak ikut berpartisipasi merupakan hal yang wajar. Hal ini sebenarnya lebih didasarkan kepada kebutuhan untuk menjalin persahabatan atau relasi sosial dengan warga yang lain. Hal ini sangat perlu bagi masyarakat yang budayanya masih kental dengan gotong royong.
Menurut Person dalam Jhonson (1990:135), agar suatu kebudayaan dapat tetap bertahan, maka suatu sistem kebudayaan harus mempunyai keempat fungsi AGIL: Adaptation (adaptasi), Goal Attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latency (pemeliharaan pola). Untuk fungsi Integration (integrasi) yaitu sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya dan fungsi Latency (pemeliharaan pola) bahwa sebuah sistem harus memlengkapi, memelihara, dan memperbaiki motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Mengenai motivasi, Melihat dari apa yang dilakukan masyarakat dalam melakukan ritual Buka Luwur dapat dikategorikan bahwa motivasi yang melandasi ritual tersebut adalah motivasi beragama. Motivasi beragama sendiri adalah naluri manusia untuk selalu dekat, kembali, dan meminta pertolongan kepada Tuhan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa ada kekuatan magis dari mori yang terpasang di makam Sunan Kudus dan juga nasi yang di bagikan ke masyarakat sehingga mereka rela berdesak-desakkan hanya untuk mendapatkan sebungkus nasi. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat mempercayai adanya sesuatu kekuatan Tuhan yang berada diluar kekuatan manusia itu sendiri.
Tujuan utama (Goal Attainment) sebagaimana konsep AGIL menurut Person dalam Jhonson (1990:135) diadakannya upacara ini adalah untuk memperingati kebesaran jasa Sunan Kudus, dalam syiar Islam di Kudus yang pada waktu itu masih didominasi oleh pengikut agama Hindu. Adanya pembagian nasi jangkrik yang tidak menggunakan lauk daging sapi sebagai salah satu warisan kearifan Sunan Kudus dalam menjaga toleransi dengan masyarakat yang masih beragama Hindu pada zamannya, tetapi kemudian diganti dengan daging kerbau atau daging kambing. Peniadaan lauk daging Sapi pada Nasi Jangkrik tersebut merupakan salah satu bentuk Adaptation pada konsepsi AGIL dalam teori fungsionalisme menurut Person.
Upacara ini juga dimaksudkan sebagai salah satu syiar Islam, yaitu dalam rangka memperingati tahun baru Hijriyah. Itulah yang menyebabkan diselenggarakannya pengajian umum pada malam hari sebelum penggantian luwur baru itu dilaksanakan oleh ulama kharismatik yang ditunjuk oleh Pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, bisa ulama dari daerah Kudus setempat atau ulama dari tempat lain. Fungsi Syiar inilah yang kemudian dipercaya oleh masyarakat Kudus untuk tetap melestarikan tradisi ini demi keberlangsungan nuansa relijiusitas masyarakat kota Kudus.
Sumber :
TRADISI BUKA LUWUR SUNAN KUDUS DI KOTA KUDUS BENTUK KEBUDAYAAN UPACARA KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT JAWA DI KOTA KUDUS
(Wujud makna sosiologis Etika dan Budaya Masyarakat Jawa. (X:Buka Luwur)
Disusun Untuk Melengkapi Tugas Paper Mata Kuliah Budaya Jawa
Dosen Pengampu Bambang Indiatmoko, Ph.D
Rizkia Farida Rohmah – 2601414012 – Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Daftar Pustaka :
- Prastyanu, M. 2014. Tradisi Buka Luwur Makam Sunan Kudus Tahun 2014. diunduh pada tanggal 17 Desember 2014 (http://kanouprastyanu.blogspot.co.id/2014/12/tradisi-buka-luwur-makam-sunan-kudus17.html)
- Ruangilmushiva. 2013. Analisis Tradisi “Buka Luwur” Berdasarkan Teori Fungsional. diunduh pada tanggal 19 Febuari 2013 (https://ruangbebashiva.wordpress.com/tag/buka-luwur/)
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro