Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat adalah yang akan menambah rasa takutmu kepada Allah, menambah kebijaksanaanmu dengan aib-aib dirimu, menambah rasa makrifat dengan beribadah kepada Tuhanmu, serta mengurangkan kecintaanmu terhadap dunia, dan menambah kecintaanmu kepada akhirat, membuka pandanganmu atas perbuatan burukmu, sehingga engkau dapat menjaga diri dari perkara tersebut, serta membebaskan dirimu dari tipu daya syaitan.” (Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah).
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan memiliki banyak manfaat, seperti :
- Menambah rasa takut kepada Allah
- Menambah kebijaksanaan
- Menambah rasa makrifat
- Mengurangi kecintaan terhadap dunia
- Menambah kecintaan terhadap akhirat
- Membuka pandangan terhadap perbuatan buruk
- Mengenali Allah, sifat-sifat, dan nama-nama-Nya
- Mengenali tata cara mengabdi kepada Allah
- Bertata krama di hadapan Allah
Menjadikan seseorang mengetahui tugas, fungsi, dan perannya di muka bumi.
- Ilmu yang bermanfaat juga harus mencakup perkara agama, seperti ilmu akidah, fiqih, akhlak, hadits, sejarah Islam, dan tasawuf.
Orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat tidak akan sombong, tidak peduli dengan keadaan dan kedudukan dirinya, dan membenci pujian dari manusia.
Ilmu yang bermanfaat juga dapat menjadi pedoman untuk membedakan hal yang benar dan salah.
Ilmu yang bermanfaat adalah mengenali Allah ta'ala, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Mengenali tata cara mengabdi kepada-Nya dan bertata krama di hadapan-Nya. Inilah ilmu yang terbentang di dalam hati, sehingga membuat dada menjadi lapang dan tercerahkan karena Islam, menyingkap tabir yang menyelimuti hati, sehingga lenyaplah keraguan.
Malik bin Anas r.a. berkata,
Manfaat ilmu adalah mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari memandang dirinya sendiri. Inilah puncak keberuntungannya, titik akhir pencariannya, dan merupakan (apa) yang dikehendakinya.
Nabi Daud dalam kalimat bijaknya menyatakan bahwa,
Muhammad bin 'Ali al-Tirmidzi berkata, "Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang tertanam di dalam dada (hati) dan yang mampu menggambarkan. Yang demikian itu, bahwa bilamana seberkas cahaya bersinar di dalam hati, maka tergambarlah dengan jelas perkara-perkara, yang baiknya maupun yang buruknya. Dengan gambaran itu ada cahaya di hati, yakni suatu gambaran jelas dari perkara-perkara itu, sehingga ia mengerjakan perkara yang baik dan menjauhi perkara yang buruk. Ilmu yang bermanfaat itu berasal dari cahaya hati sehingga pertanda-pertanda itu keluar menuju dada, yaitu tanda-tanda petunjuk (yang jelas).
Suatu ilmu yang diketahui itu terkadang adalah ilmu lisan, yang hanyalah sesuatu menjadi hapalan, sedangkan syahwat dapat mengepungnya dan mengalahkannya. Cahaya ilmu lisan itu bisa dilenyapkan oleh karena kegelapan syahwat."
Makna Ilmu Yang Bermanfaat.
Di dalam Al-Qur-an terkadang Allah Ta’ala menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, yaitu ilmu yang bermanfaat. Dan terkadang Dia menyebutkan ilmu pada kedudukan yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,
Firman Allah Ta’ala,
Firman Allah Ta’ala,
Firman Allah Ta’ala,
Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam dan pelajaran yang didapatkannya dari Allah tentang nama-nama segala sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun berkata,
Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya,
Ini semua adalah ilmu yang bermanfaat.
Dan terkadang Allah Ta’ala mengabarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak bermanfaat. Ini adalah ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya, namun pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala berfirman,
Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,
Dan firman Allah Ta’ala,
Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu menjadi ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, juga menganjurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.”
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal. Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala apa yang diridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.”
Baca Juga Surat Kepada Guru dan Murid
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmu-nya banyak.”
Perkataan beliau rahimahullaah menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam ter-kemuka yang mengikuti jejak mereka…”
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah ber-kata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.”
Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…”
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan,
kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami
ilmu agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.
Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ مِنَ الْـهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau mengumpama-kannya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidup-kan tanah-tanah yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air se-hingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Di antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.
Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaat-kannya.
Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
Ath-Thibi berkata, “Manusia terbagi menjadi dua :
1. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.
2. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatannya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya.
Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
Koleksi artikel Kanti Suci Project
Sumber Referensi :
- Dikutip dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
- https://almanhaj.or.id/2309-pengertian-ilmu-yang-bermanfaat.html